Perumpamaan Gitar dan Kayu

Perumpamaan Gitar dan Kayu

1. Perumpamaan Gitar dan Kayu
Pada suatu hari serombongan penyanyi lewat dekat gubuk Petapa Siddharta sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira, dan seorang diantara mereka menyanyi dengan syair sebagai berikut:

Kalau tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarik terlalu kendor ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalu rendah atau keras. Orang yang memainkannya harus pandai menimbang dan mengiranya.”

Perumpamaan Gitar dan Kayu

Mendengar nyanyian itu Petapa Siddharta mengangkat kepalanya dan memandang dengan heran kepada rombongan penyanyi tersebut. Dalam hatinya ia berkata:

“Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang calon Buddha (Bodhisattva) mesti menerima pelajaran dari rombongan penyanyi. Karena bodoh aku telah menarik demikian keras tali penghidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendor.”

Mendengar syair lagu dari serombongan penyanyi tersebut, Petapa Siddharta kemudian menyadari bahwa cara ini tidak membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tiba timbul dalam batinnya tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir.

Selanjutnya beliau berpikir:
Pertama:
“Kalau sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosokgosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Maka orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para petapa dan brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indera dan batinnya masih ingin menikmatinya pasti tak akan berhasil.”

Kedua:
“Kalau sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Maka orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari kayu yang basah itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan kesedihan. Begitu pula para petapa dan brahmana yang masih terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indera dan batinnya masih ingin menikmatinya pasti juga tak akan berhasil.”

Ketiga:
“Kalau sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin mendapatkan hawa panas.” Maka orang ini pasti dapat membuat api dari kayu yang kering itu. Begitu pula para petapa dan brahmana yang tidak terikat kepada kesenangan nafsu-nafsu indera dan batinya juga tidak terikat lagi, maka petapa dan brahmana itu berada dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung.”

Setelah merenungkan tiga perumpamaan tersebut, Petapa Siddharta mengambil keputusan untuk mengakhiri puasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin kembali ke gubuknya Petapa Siddharta terjatuh pingsan di pinggir sungai. Waktu siuman ia sudah tidak bisa lagi berdiri. Untung pada waktu itu lewat seorang penggembala kambing bernama Nanda yang melihatnya sedang tergeletak kehabisan tenaga di tepi sungai. Dengan cepat ia memberikan susu kambing sehingga dengan perlahan-lahan tenaga Petapa Siddharta pulih kembali dan ia dapat melanjutkan perjalanannya ke gubuk tempat ia bertapa. Sejak hari itu Petapa Siddharta diberi makan air tajin untuk mengembalikan kekuatan dan kesehatannya, selanjutnya dalam waktu yang tidak lama Petapa Siddharta sudah dapat makan makanan yang lain sehingga kesehatannya pulih kembali.

Perumpamaan Gitar dan Kayu

2. Pesan Cerita
Siapa pun dapat belajar dari alam sekitarnya. Seperti halnya Petapa Siddharta, Beliau belajar dari apa yang dilihat, didengar, dan dirasakanNya. Melalui syair lagu yang didengarnya beliau tersadarkan dari praktik menyiksa diri yang tidak membawa kemajuan batin. Hal demikian memberi pesan kepada kita bahwa, jadilah orang yang peka, tanggap terhadap tanda-tanda yang dilihat, didengar atau pun dirasakannya.

Pesan utama dalam kisah di atas adalah agar dalam melakukan sesuatu janganlah terlalu berlebihan. Makan terlalu kenyang tidak baik, terlalu lapar juga berbahaya. Nonton TV terlalu lama tidak baik. Terlalu banyak bermain tidak baik, karena akan ketinggalan pelajaran. Terlalu banyak bekerja tidak baik, perlu waktu untuk istirahat. Tetapi, tidur terlalu lama juga tidak baik, karena dapat menimbulkan kemalasan. Demikianlah, segala sesuatu harus dilakukan secara bijak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Rumah Terbakar Dalam Agama Buddha

Kasih Sayang di Keluarga Dalam Agama Buddha